“Jadi
ikhlas memang perlu dilatih, di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi
bagaimanapun juga, sejak matahari terbit hingga terbenamnya.”
Berbuat
ikhlas ternyata tidak semudah membalik telapak tangan, juga tidak segampang mengatakannya.
Langkah pertamanya perlu perjuangan dan latihan demi latihan yang memakan waktu
lumayan panjang. Selanjutnya dituntut juga kesabaran. Proses menuju kesana
perlu kesungguhan yang cukup ekstra. Pada kesempatan lain ia memerlukan juga
pengorbanan-pengorbanan, baik pengorbanan rasa, fisik, maupun mental.
Namun
manusia memang mempunyai segudang alasanuntuk menutupi alibi minus ruhaninya
dengan berpendapat bahwa sikap ikhlas tidaklah penting bagi nasib amalnyakelak
di kemudian hari. Ada-ada saja dalil dan dalih yang dipergunakan untuk
menangkis dan menutupi tingkah yang terkesan serba terpaksa, serba mengekor dan
ikut-ikutan. Ikhlas tidak ikhlas yang penting ibadah jalan terus, ikhlas tidak
ikhlas dalam perjuangan toh sama saja nilainya, itulah di antara contohnya.
Dalil itu selalu keluar dari celah mulutnya sebagai pendukung argumentasinya,
dan masih banyak lagi contoh lain yang gampang sekali dicari sendiri, baik yang
terjadi di sekitar rumah kita, tetangga, dan sebagainya.
Padahal
ada beberapa masalah yang dapat timbul sebagai akibat dari sikap yang tidak
tulus itu. Ketidaktulusan dalam beramal akan membawa dampak yang buruk baik
dari fisik maupun psykhis. Pengaruh jelek dan berdampak nyata adalah bentuk
kerja yang menampilkan hasil yang semrawut, acak-acakan, menimbulkan kesan
tidak sedap dipandang maupun didengar. Apa yang dilakukan hanya semacam
kompensasi dari cermin batinnya yang sedang dilanda kegersangan. Sementara bagi
pyskhis, kita dapat merasakan betapa tidak ikhlas itu sangat menyiksa baik bagi
diri pribadi maupun bagi lingkungan sekitar.
Hal
lain sebagai dampak yang dapat ditimbulkannya adalah sebagai berikut:
Mudah
Tersinggung
Orang yang tidak
ikhlas akan mudah tersinggung hanya karena masalah-masalah yang sesungguhnya
sangatlah sederhana. Tidak ditegur saja oleh karena unsur ketidaksengajaan
dianggapnya sudah meremehkan harga dirinya, disetarakan sebagai suatu
penghinaan dan sikap merendahkan. Tidak diundang saja, karena lupa, berbagai
sumpah serapah dilontarkan dengan nada yang sangat menyakitkan telinga.
Tersenggol sedikit saja dianggap sebagai tantangan untuk diajak berduel dan
seterusnya.
Dalam rotasi perjuangan menegakkan kalimat Allah kejadian
seperti ini bak racun yang berpenampilan madu. Terlihat biasa-biasa saja dari
luarnya, tanpa gelombang protes, akan tetapi pada saat yang bersamaan
teru-menerus menyebarkan angin kebusukan ke sana-ke mari tanpa berhenti. Segala
yang tidak sesuai dengan detak hati dan keinginan dirinya dianggapnya sebagai
ancaman. Di manapun tiada waktu tanpa kedongkolan, setiap kali dan pada
kesempatan yang ada tiada sikap yang ditunjukkan selain sebagai cermin unjuk
rasa diri pribadinya.
Allah SWT. telah memrhatikan kepada kita untuk menerapkan
pentingnya bersifat ikhlas dalam ber-Islam.
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
(mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus. Dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Tentu saja bagaimana pun alasannya sikap menghibur diri
semacam inilah hanyalah akan merusak hubungan baik manusia, di mata Allah. Dia
yang secara tegas memberikan pengertian semacam itu teramat mengetahui dampak
yang akan muncul akibat dari perilaku manusia yang serba terpaksa dalam
ber-Islam.
Semangat
mudah kendor
Di lain keterangan Rasulullah SAW. menjelaskan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, “’Agama ialah keikhlasan,
kesetiaan dan loyalitas.’ Kami bertanya ‘Loyalitas kepada siapa ya Rasulullah?’
Rasulullah SAW. menjawab, ‘Kepada Allah, kepada kitabnya (Al-Quran), kepada
Rasul-Nya, kepada penguasa muslim dan kepada rakyar awam.’”
Sementara dalam hadits qudsi sijelaskan, “Kelak pada hari
kiamat akan didatangkan beberapa buku yang telah disegel (catatan Raqib dan
Atid) lalu dihadapkan kepada Allah SWT. (Pada waktu itu) Allah berfirman,
‘Buanglah ini semua.’ Malaikat berkata, ‘Demi kekuasaan Engkau, kami tidak
melihat di dalamnya melainkan yang baik-baik saja.’ Selanjutnya Allah
berfirman, ‘Sesungguhnya isinya ini dilakukan bukan karena Aku, dan Aku
sesungguhnya tidak akan menerima kecuali apa-apa yang dilakukan selain mencari
keridhaan-Ku’”
Ikhlas memang menduduki kedudukan yang utama dalam daftar
amalan kita. Karenanya betapapun besarnya tabungan amal kita tanpa diiringi
dengan keikhlasan ia akan gugur. Ibarat debu yang bertumpuk-tumpuk di atas
genting yang kering, yang akan lenyap disapu oleh air hujan yang menyiramnya
hanya beberapa menit saja. Atau ibarat dedaunan kering yang tak punya ikatan
lagi dengan induk pohonnya, tidak ada pijakan dan wadah penguat yang menjamin
kelanggengannya, sehingga gampang lepas dan rusak, amalannya dapat terbang
lenyap dan hilang oleh karenanya.
Selanjutnya ketidak-ikhlasan akan melahirkan sekelompok
manusia pencuri muka, pengambil hati untuk kepentingan sendiri. Semua yang
dilakukannya bukan karena lillahi ta’ala semata. Tapi istilahnay menendang
kanan untuk mendapat yang kiri, melakukan kebaikan untuk menggapai pujian, agar
orang yang dibidiknya menjadi terpikat, agar bos dan pimpinannya senang dan
mengakui keunggulannya.
Jadi ikhlas memang perlu dilatih. Jangka waktu itu tidak
bisa ditentukan, umurnya juga tidak terbatas, di mana saja, kapan saja dan
dalam kondisi bagaimanapun juga. Itulah sebabnya di sana kita dianjurkan untuk
terus-menerus belajar semenjak dari ayunan hingga ke liang lahat. Dari matahari
terbit sampai terbenamnya. Seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW. dalam
haditsnya, “Uthlubuln’ilmi minal Mahdi ilal-lahdi.” Sudah barang tentu hal ini
menyangkut belajar berikhlas.
sumber: buletin jumat Al-Qolam edisi 6 Januari 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar