From Dakwatuna.com - “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 190-191).
Saudaraku, apa yang kau rasakan saat membaca ayat tersebut? Adakah kau merasakan ajakan Allah Azza wa Jalla untuk memikirkan ciptaan-Nya, yang mana bila kau lakukan maka Dia akan memberi tanda/petunjuk-Nya padamu?
Bila
kita merenungi ayat tersebut kemudian mencoba mengikutinya maka akan
terasa tanda-tanda itu bicara pada kita. Sebagai contoh sederhana, kau
tahu daun kan? Saking banyaknya daun di sekitar kita, mungkin kita tak
pernah memikirkan pelajaran apa yang dapat kita petik dari kehidupan
daun.
Mungkin saat mengenyam ilmu di sekolah atau kampus yang
berkaitan dengan ilmu biologi atau pertanian, ada sedikit pengetahuan
akan kehidupan daun kita peroleh dari ulasan guru atau dosen, baik
tentang proses fotosintesis, kemanfaatannya buat alam, manusia, hewan
juga tanaman itu sendiri. Tetapi bisa jadi kita menelaahnya hanya
sebatas itu, tanpa pernah menyentuh hal ini dari sudut pandang iman.
Oleh
karenanya Saudaraku, mari sejenak kita perhatikan daun. Ya, sejenak
saja dari sekian banyak waktu yang kau habiskan dengan segala
rutinitasmu. Kau pasti tahu bahwa sang daun sejak tumbuh ia memiliki
peran penting untuk proses kehidupannya sendiri dan tak diragukan lagi
teramat banyak manfaat bagi sekitarnya termasuk untuk kita. Kau pun
pasti sangat paham saat sang daun luruh ke bumi, ia tetap memberi
manfaat sebagai humus yang menyuburkan tanah.
Tidakkah kita bisa
mengambil hikmah/pelajaran dari siklus hidupnya ini? Ada sebuah tanda
yang Allah tunjukkan pada kita tentang kehidupan daun. Mari kita garis
bawahi, bahwa sejak tumbuh hingga luruh ke bumi ia bermanfaat untuk
sekitarnya.
Tidakkah kita menginginkan kehidupan kita bisa bermanfaat seperti kehidupan sang daun? Di mana hal ini selaras dengan apa yang diriwayatkan
dari Jabir berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Orang beriman itu
bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap
ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Mari sejenak kita renungi pula hadits ini, dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? dan amal
apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab, “Orang
yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat
manusia dan amal yang paling
dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri
seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau
melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku
berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan
lebih aku sukai daripada aku beri’tikaf di masjid ini—yaitu Masjid
Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya
maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya
padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi
hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan
bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga
tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari
tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Mereka,
kata Rasulullah, adalah sebaik-baik manusia. Mereka mendapatkan cinta
Allah karena kebaikan dan manfaat hidupnya terhadap orang lain. Para
sahabat pada masa Nabi memahami secara mendalam sebuah kaidah usul fiqih
yang menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih
bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri.
Tidakkah kita ingin mendapat cinta Allah dengan menjadi bagian dari “Khairunnas anfa’uhum linnas?” Kurasa
tak ada seorang pun yang tak menginginkan dicintai Allah. Bila
demikian, mari kita tengok diri kita, apa saja yang sudah diperbuat
sepanjang perjalanan hidup kita, adakah yang kita lakukan telah
bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi berguna pula untuk orang
lain? Bagaimana peran kita selama ini sebagai anak, sebagai suami atau
istri, sebagai ayah atau bunda, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai
pengajar, pekerja, pedagang, pencari ilmu, atau peran apa pun yang saat
ini sedang dilakoni? Dan, apa pula yang kita ingin orang lain sebutkan
tentang diri kita saat meninggalkan kefanaan dunia?
Bila
perjalanan hidupmu Saudaraku… masih sama denganku, masih jauh dari
bermanfaat untuk sekitar, mulai saat ini mari menyusun langkah dan
menata aktivitas kita dengan berorientasi pada kemanfaatan untuk orang
banyak. Dengan segenap potensi yang Allah karuniakan, mari kita berjuang
menjadi pribadi yang dicintai-Nya.
Indah sekali rasanya bila
hidup kita diwarnai semangat untuk selalu menebar kebaikan dan memberi
manfaat bagi orang lain. Elok juga rasanya bila ajal telah tiba
mengakhiri aktivitas kita di dunia, namun nilai kemanfaatan dari apa
yang kita lakukan tetap dirasakan oleh mereka yang masih berkelana di
dunia.
Sungguh sangat bermakna pula ketika kita dapat memikirkan
tanda-tanda dari ciptaan-Nya, seperti sang daun itu. Mari kita segera
bergerak untuk belajar pada kehidupannya: dari tumbuh hingga luruh meninggalkan manfaat untuk sekitar.
Mari hadirkan dalam hati tentang kehidupan sang daun dan
merefleksikannya dalam tingkah laku kita. Menjadikan ia bagian dari
inspirasi hidup kita. Semoga dengan mengingat dan belajar pada salah
satu ciptaan Allah ini, membuat kita terpacu menjadi bagian dari Khairunnas anfa’uhum linnas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar