From Dakwatuna.com - Tidak ada entitas kehidupan yang
tercipta sia-sia. Sadar akan hal ini, penulis berupaya menyuguhkan
tulisan singkat tentang hakikat penciptaan lalat. Makhluk lemah ini
sering kali dituding oleh sebagian dari mereka sebagai serangga pembawa
sial, kuman penyakit, dan hewan yang cukup mengganggu. Akan tetapi,
pernahkah mereka memikirkan hakikat penciptaannya?
Hampir semua
jenis serangga, termasuk lalat, tidak terlihat di musim dingin, mereka
nantinya muncul beterbangan di awal musim semi, tetapi sebagian dari
mereka, seperti lalat hijau telah menampakkan diri di penghujung musim
dingin. Tentunya, fenomena seperti ini membangkitkan selera tanya
pemerhati yang berkata: “rahasia apa lagi di balik fenomena ini? Apakah
di sana ada pesan-pesan kehidupan untuk manusia?”
Siklus kehidupan
seperti ini menunjukkan kesempurnaan penciptaan Allah SWT. Mereka
seperti bala tentara Allah yang menyeru dan berkata: “wahai manusia,
khalifah Allah, jangan pernah melihat aku pada batas penciptaan semata,
tetapi temukan nilai-nilai ketuhanan dan kehidupan di balik
penciptaanku! Aku melukiskan seribu satu makna bagi insan-insan Rabbânî.
Olehnya itu, jangan pernah mengusirku dengan begitu kasar, hanya karena
aku hinggap di batang hidungmu. Aku tidak sepantasnya mendapatkan
perlakuan seperti itu, jika Anda mengetahui hakikat-hakikat penciptaan
yang aku biaskan. Boleh jadi, dengan bertenggernya aku di batang
hidungmu sedetik, itu dapat menyadarkanmu dari kelalaian tentang hakikat
penciptaan setiap entitas kehidupan. Coba lihat dan pikirkan itu!”
Di
musim panas sampah dan bangkai binatang cepat mengalami pembusukan oleh
pengaruh bakteri. Olehnya itu, untuk menekan bahaya bakteri tersebut,
Allah menciptakan lalat di luar perhitungan matematis sebagai pembasmi
gratis terhadap kuman-kuman penyakit.
Syekh Mutawallî as-Sya’râwî dengan singkat mengatakan:
“Sebagian
manusia bertanya: “apa hikmah penciptaan lalat di kosmos ini?” mereka
tidak tahu bahwa lalat senantiasa memberikan layanan jasa yang sangat
urgen, dia memakan kotoran dan kuman penyakit yang melengket di
tubuhnya, dan seandainya manusia memproteksi diri dengan kebersihan,
pasti lalat tidak mengerumuni mereka.
Jadi, setiap
entitas kehidupan memerankan fungsi mereka dengan teratur. Sesungguhnya
keteraturan yang apik itu datang dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui
lagi Bijak. Dan selagi Dia yang Bijak yang menciptakan, maka tidak
layak bagi mereka membantah dan berkata: “kenapa lagi dia tercipta?”
Karena setiap makhluk punya tugas tersendiri di alam ini.”[1]
Sebelumnya, Bediuzzaman Said Nursi mendeskripsikan fungsi penciptaan makhluk ini dengan panjang lebar, beliau berkata:
“Sesungguhnya
lalat sangat memerhatikan kebersihan, dia senantiasa membersihkan muka,
mata dan sayapnya, seperti orang yang sedang berwudhu. Olehnya itu,
tanpa ragu, jenis makhluk ini punya tugas penting dan mulia, tetapi kaca
mata hikmah dan ilmu manusia tidak mampu menangkap semua fungsi yang
sedang dilaksanakan.
Di antara hewan yang diciptakan
Allah binatang buas, pemakan daging (karnivor). Mereka seperti petugas
kebersihan yang menjalankan tugas dengan begitu sempurna. Dengan melahap
bangkai binatang darat dan laut, mereka telah menjaga kebersihan laut
dan udara dari polusi.
Di lain sisi, di sana ada
burung-burung pemangsa yang siap mencengkeram bangkai binatang laut dan
darat sebelum membusuk. Dengan desain indera perasa yang Allah ciptakan
terhadapnya, mereka mampu menangkap sinyal bangkai dari jarak tempuh
sekitar 6 jam perjalanan. Seandainya petugas kebersihan ini tidak ada,
dunia sungguh menyedihkan dan wajah laut murung tidak berseri.
Tidak
jauh dari itu, lalat punya fungsi serupa. Serangga ini telah diformat
khusus untuk membasmi kuman penyakit yang tidak terlihat oleh kasat
mata. Dia bukan pembawa kuman, melainkan dia penghancur pelbagai basil
yang berbahaya dengan memakan dan mendaur ulang materi beracun ini
menjadi materi lain, sehingga dengan sendirinya penyakit-penyakit pun
tidak tersebar dalam skala besar dan menakutkan.
Bukti
nyata bahwa mereka makhluk petugas kebersihan, pembasmi bahan-bahan
kimia yang mengancam, dan keberadaannya penuh dengan hikmah, adalah
jumlahnya yang tidak terhitung di musim panas. Bukankah materi yang
bermanfaat itu diperbanyak kopiannya?”[2]
Yang
menarik lagi dari hewan ini, justifikasi hukum dari hadits bahwa
spesies ini, meskipun datang dari kotoran, tetapi ia diperlengkapi
dengan anti-bakteri. Ini telah ditegaskan sabda Nabi Saw berikut ini:
(إِذَا
وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ، ثم
لْيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً، وَفِى الآخَرِ
دَاءً).
“Jika lalat jatuh di tempat minum (gelas) salah
seorang dari kalian, maka celupkan semua tubuhnya. Sesungguhnya di salah
satu sayapnya ada obat, dan di sayap lain ada penyakit.”[3]
Jika
Anda bertanya dan berkata: “Apakah mungkin lalat punya anti-bakteri,
sementara, dia hidup di kotoran? Tolong buktikan dengan dalil-dalil
ilmiah?”
Kebenaran medis Nabi Saw tersebut, yang diingkari oleh sebagian orientalis, telah dibuktikan oleh kedokteran kuno dan modern.
Imam Ibn Qutaiba berkata:
“Ahli medis kuno menganggap bahwa lalat yang diaduk dengan serbuk antimon [4] dapat menjadi ramuan celak yang ampuh mempertajam penglihatan dan mempertebal pertumbuhan bulu-bulu mata.”[5]
Olehnya
itu, bagi Imam Ibn Qayyîm sendiri, hadits ini tidak patut diingkari
oleh mereka, karena bukan hanya lalat saja seperti ini, tetapi ular,
lebah dan yang lain punya mekanisme serupa. Beliau menjelaskan:
“Sebagian
dari mereka merasa aneh terhadap penyakit dan obat yang ditemukan dalam
satu makhluk. Itu bukanlah keanehan, sesungguhnya mulut lebah membawa
madu dan pantatnya menyimpan sengat, bisa ular dapat dilumpuhkan dengan
ramuan Tiryak (pengobatan kuno yang komposisinya terdiri dari bisa dan
serbuk daging ular yang dicampur dan diaduk rata), dan mereka
menyarankan kepada korban yang mukanya digigit anjing untuk ditutupi.
Karena jika lalat hinggap, penyakitnya dapat bertambah parah.”[6]
Dunia
medis modern pun telah menemukan hal yang tidak jauh beda dari penemuan
di atas. Ini dapat dilihat di laporan medis mereka berikut ini:
Karena
tabiat lalat yang tercipta di lingkungan kotor, maka sebagian kotoran
tersebut melengket di tubuhnya, dan sebagian lain dimakan, yang kemudian
menjadi materi beracun yang lebih dikenal dengan anti-bakteri
(bakterionag). Zat beracun tidak dapat bertahan hidup, atau punya
pengaruh terhadap kekebalan tubuh selama anti-bakteri ini ada di tubuh
lalat. Olehnya itu, jika seekor lalat yang membawa kuman penyakit jatuh
di makanan dan minuman, maka pemusnah kuman yang paling ampuh
anti-bakteri yang tersimpan di rongga dalam lalat itu sendiri yang dekat
di salah satu sayapnya. Tentunya, dengan mencelupkan semua tubuh lalat
cukup untuk membunuh kuman-kuman yang melengket di tubuhnya. Hal ini
telah dibuktikan medis barat.[7]
Pendek
kata, medis kenabian telah terbukti kebenarannya oleh medis kuno dan
modern. Tidak ada celah bagi mereka yang ingin menuding teks-teks Islam
sebagai teks agama yang tidak riil dan relevan dengan dunia nyata. Ini
mengindikasikan kebesaran dan keagungan Sang Maha Penguasa, yang
ciptaan- ciptaan-Nya dapat menjadi guru tersendiri bagi mereka yang
ingin menangkap bisikan-bisikan hakikat penciptaan dan kehidupan.
Keurgensian
makhluk ini tidak berhenti di sini saja, tetapi ia diabadikan sebagai
bahan baku celaan Al-Qur’an terhadap orang-orang musyrik. Allah SWT
berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ
اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ ۖ وَإِن
يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ ضَعُفَ
الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ ﴿٧٣﴾
“Sesungguhnya segala
yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali
dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.” (QS. Al-Hajj [22]: 73)
Hemat
penulis, lalat makhluk yang paling lemah, tetapi ia mengetahui
kelemahannya. Di lain sisi, penyembah berhala, makhluk lemah, tidak
menyadari kelemahannya, bahkan ia memberikan justifikasi ketuhanan
kepada berhala-berhala yang tidak punya kekuatan sedikit pun. Olehnya
itu, kelemahan yang disadari dan diposisikan pada tempatnya lebih baik
dari sejuta kesombongan dan keangkuhan yang menyengsarakan.
Sesungguhnya
apa yang mereka anggap kuat, hakikatnya lemah di hadapan Allah,
penyembah dan sembahan tidak dapat mengembalikan sesuatu yang telah
dirampas lalat dari mereka. [8]
Apa lagi jika mereka diminta menciptakan makhluk ajaib ini. Sungguh,
itu cemooh yang mencoreng muka mereka di hadapan seluruh entitas
kehidupan, celaan yang meninggalkan pilu dan malu. [9]
Demikianlah
telaah imaniah singkat tentang justifikasi negatif terhadap lalat yang
jauh dari nilai-nilai keimanan, hewan yang menyimpan seribu satu
keajaiban penciptaan.
Di akhir tulisan ini, saya mengajak pemerhati tema-tema keislaman menyimpulkan apa yang dipaparkan di atas:
“Telaah
rahasia-rahasia penciptaan lalat dengan penuh keimanan! ia lemah tapi
tidak sombong, dengan kelemahan dia menjadi kuat, makhluk yang
melukiskan keagungan penciptaan yang tidak terhingga, petugas kebersihan
harian umat manusia yang tidak disadari. Mereka tidak pernah meminta
gaji, yang mereka inginkan hanyalah kesadaran manusia untuk menjadikan
mereka objek telaah imaniah yang menyuguhkan aneka ragam makna kehidupan
dan ketuhanan. Dia tidak kotor meski dari tempat kotor, tidak membawa
kuman kecuali obatnya telah siap, dan dia senantiasa menyeru Anda untuk
menjaga kebersihan. Subhanallah wa Alhamdulillah!”
Catatan Kaki:
[1] Tafsir as-Sya’râwî, vol. 2, hlm. 699
[2] Lihat: Ustadz Bediuzzaman Said Nursi, Masâil Daqîqah fi al-Ushûl wa al-Aqîdah, diterjemahkan oleh Ihsân Qâsim as-Shâlihî, Sözler Publication, cet. 2, 2003 M, hlm. 7-9
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra., dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari di Shahihnya, kitab at-Tib, bab Isâ waqaa adz-Zubâb fi Inâi Ahadikum, hadits, no: 5782, hlm. 1594
[4] antimon:
logam berwarna putih perak yang mudah dihancurkan menjadi serbuk dan
dicampur dengan logam-logam lain; batu serawak. [Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, cet. 3, 1990 M, hlm. 43]
[5] Imam Abî Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalafil Hadîts, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin al-Ashfar, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. 2, 1419 H/1999 M, hlm. 335-336
[6] Imam Ibn Qayyîm al-Jauzî, al-Musykil min Hadîts as-Shahîhain, ditakhkik oleh DR. Ali Husain al-Bawwâb, Dar al-Wathan, cet. 1, 1418 H/1997 M, hadits, no: 2076/2581, vol. 3, hlm. 547
[7] Lihat: Musykilât al-Ahâdîts an-Nabawiyyah wa Bayânuhâ, vol. 1, hlm. 54
[8] yang
dirampas dari mereka adalah sesajen yang dipersembahkan khusus untuk
berhala-berhala. Kebanyakan mufassir menafsirkannya sebagai
wangi-wangian dan madu yang dioleskan di bagian kepala patung-patung
tersebut. Di lain sisi, Syekh as-Sya’râwî menafsirkannya dengan makanan
dan darah hewan (korban) yang disembelih di dekat berhala-berhala
mereka. [lihat: Abû Hayyan at-
Tauhîdî, al-Bahru al-Muhîth, vol. 6, hlm. 360, dan Tafsir as-Sya'râwî, vol. 16, hlm. 9933-9934]
Tauhîdî, al-Bahru al-Muhîth, vol. 6, hlm. 360, dan Tafsir as-Sya'râwî, vol. 16, hlm. 9933-9934]
[9] Lihat: Syekh Abîs as-Suûd al-Imâdî, Tafsir Abî as-Suûd, vol. 4, hlm. 397-398, dan Syekh Muhammad Thâhîr bin Ãsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 17, hlm. 340
Tidak ada komentar:
Posting Komentar